Desa Sade, Desa Adat di Pulau Lombok
Halo Travelers! Apa kalian tahu kalau ada sebuah desa yang bernama Desa Sade? Desa ini merupakan desa tradisional suku Sasak. Desa Sade berlokasi di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.
Arti Nama Desa Sade
Tahukah Travelers bahwa nama Desa Sade memiliki arti? Nama Desa Sade sendiri berasal dari bahasa Jawa Kuno yaitu Nur Sade, Nur yang berarti cahaya, Husade yang berarti obat. Makna dari kata Sade adalah untuk mencapai ketenangan jiwa, memuja Sang Khalik, dan memiliki kesadaran penuh sebagai hamba Allah.
Masa Lalu vs Masa Kini Desa Sade
Di masa lalu, masyarakat Dusun Sade melakukan pernikahan endogami atau antar keluarga dekat. Mungkin travelers bertanya-tanya mengapa mereka melakukan itu? Jawabannya adalah karena mereka ingin mempererat kekeluargaan dan menjauhi biaya pernikahan dengan orang di luar suku yang mahal. Selain melakukan pernikahan endogami, masyarakat Dusun Sade hidup dengan saling membantu tanpa mengharapkan upah, saling bertukar barang keperluan hidup, saling memberi, dan saling meminjam.
Di masa kini, Desa Sade memiliki satu ciri khas yaitu shopping street. Namun perjalanan Desa Sade untuk dapat menjadi sebuah kawasan wisata tidaklah singkat. Perjalanan panjang tersebut dimulai sekitar tahun 1975, sedangkan pembangunan awal pariwisata terjadi sekitar tahun 1997-1998.
Shopping street ini tak lepas dari permintaan wisatawan yang ingin membawa pulang oleh-oleh dari Dusun Sade yang dikunjungi. Produk yang dijual di shopping street adalah kerajinan lokal dan souvenir. Selain itu, pengunjung juga bisa membeli hasil karya tenun yang dibuat oleh wanita setempat. Tenunan tersebut terbuat dari kapas yang pohonnya ditanam sendiri, diwarnai dengan pewarna alami, dan ditenun sendiri. Wah, masyarakat Dusun Sade kreatif sekali ya, travelers!
Karakter pedagang lokal Desa Sade terlihat dari pakaian, logat, dan bahasa yang digunakan. Kaum laki-laki harus menggunakan sarung, sedangkan kaum perempuan dapat menggunakan sarung atau kain. Selain menjadi pedagang, karena banyaknya turis yang datang, terdapat banyak anggota masyarakat Desa Sade yang berprofesi sebagai pemandu wisata.
Kawasan Desa Sade
Selanjutnya kami akan membahas mengenai kawasan di Desa Sade. Pola penataan lingkungan di Desa Sade adalah memusat dengan arah menuju rumah kepala dusun pertamanya. Antara rumah untuk kepala adat dan rakyat biasanya tidak dibedakan. Pada umumnya, masjid atau surau berada di tengah kawasan. Dikarenakan tidak ada pembedaan status sosial, maka di Dusun Sade tidak dijumpai istana untuk raja.
Aspek arsitektur Desa Sade juga tak kalah menarik untuk disimak loh, travelers! Arsitektur di Desa Sade didominasi oleh material alam, sehingga dindingnya menggunakan material anyaman bambu. Sedangkan, pondasi sekaligus lantainya menggunakan campuran tanah, sekam padi air, serta kotoran kerbau atau sapi. Untuk bagian atap, masyarakat Desa Sade menggunakan ijuk dan material bambu.
Pohon Cinta di Desa Sade
Keunikan yang lain dari Desa Sade adalah cerita mengenai pohon cinta. Pohon cinta adalah lokasi dimana perempuan akan menunggu diculik oleh laki-laki yang akan menikahinya dalam sebuah ritual yang bernama Merarik.
Tahukah travelers mengapa merarik tak boleh diketahui oleh keluarga perempuan, dan harus dilakukan pada malam hari? Karena aturannya melarang dilaksanakan pada siang hari, dan jika terjadi maka akan didenda sebanyak 24 ribu rupiah. Wah, aturannya cukup unik ya, travelers!
Ritual merarik ini dapat berjalan setelah anak laki-laki mengambil anak perempuan di pohon cinta. Keduanya tidak diperbolehkan untuk pulang, dan harus tinggal di kediaman sang perempuan. Untuk menyambut keduanya, maka akan diadakan Malam Perangkat secara sederhana.
Narasi sejarah Desa Sade memiliki daya tarik tersendiri yang membuat masyarakat memiliki keinginan untuk berbelanja produk lokal. Sehingga desa ini menjadi tempat wisata yang favorit di Lombok.
Kamu bisa menemukan berbagai kisah unik hingga spot foto cantik.
Maka dari itu, jika travelers memiliki kesempatan, jangan lupa untuk mengunjungi Desa Sade ya!
* Pengambilan data dan dokumentasi riset ini dilakukan pada tahun 2018.
* Foto oleh Apriliana Rahmadani